sedangkanayat Khataman Nabiyyin sudah turun pada tahun ke-5 Hijrah. Kalau saja benar Khataman Nabiyyin itu artinya Nabi Muhammadsaw. adalah nabi penutup dan terakhir, yakni tidak boleh ada lagi Nabi sesudah beliausaw., maka sudah tentu beliausaw. tidak akan bersabda, Jika saja Ibrahim panjang usianya, ia pasti akan Itulahulasan mengenai nama-nama nabi dan rasul. Mengenal nama nama nabi dan rasul adalah hal penting bagi umat muslim. Pasalnya dalam ajaran Islam, setiap muslim diwajibkan untuk meyakini rukun iman, di mana salah satunya mewajibkan pemeluk islam untuk meyakini nabi dan rasul sebagai utusan Allah SWT yang ditugaskan menyampaikan wahyu Sayamencoba mendalami literatur dari Ahmadiyah, dari beberapa blogger tentang khataman nabiyyin menurut pemahaman atau pun keyakinan mereka, ternyata ada pemahaman keilmuan yang keliru pengertian dari khataman nabiyyin itu, sehingga menimbulkan sebuah komunitas baru dengan kelompok keagamaan yang mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad objeknyaadalah hukum islam. Maka filsafat hukum islam adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis Kata hukum dan kata lain yang berakar dari kata itu terdapat dalam 88 tempat di dalam Al-Qur’an; Qur'an kepada Muhammad sebagai Khataman Nabiyyin (Penutup Para Nabi) dan menganggap bahwa Al- Menurutqiraat (bacaan) yang umum ayat itu dibaca "Khatam," bukan "Khatim." Tetapi artinya adalah "Khatim." Khatam artinya cincin, dan Khatim artinya penutup. Khataman Nabiyyin artinya cincin permata segala nabi. Kalau sekiranya kita perturutkan rasa bahasa, tentu Nabi Muhammad itu tidak nabi lagi, hanyalah cincin perhiasan segala nabi-nabi. Ahmadiyahmembenarkan N abi Muhammad Rasulullah saw sebagai Khataman-Nabiyyin . Yang teragung dari antara mereka itu adalah ia yang telah menjadikan asas ini bersinar paling cemerlang. Ia yang membukakan kepalsuan dan membuktikan kekosongan dewa-dewa berdasarkan akal dan kekuatan. Setelah berhasil membuktikan semuanya, ia meninggalkan MWBV. Memaknai Ayat Khataman Nabiyyin 1 Saya coba mengulas salah satu Ayat pada Al-Ahzab tepatnya ayat 40 yakni mengenai Nabi Muhammad SAW apakah sebagai wakhaatama alnnabiyyiina ataukah walaakin rasuula allaahi wakhaatama alnnabiyyiina. Untuk menjelaskan kedua macam pendapat ini akan dikupas satu persatu ayat tersebut. Haruslah dimengerti, bahwa kedatangan AlQuran ke atas dunia adalah untuk menghilangkan segala macam perselisihan dan pertengkaran, dan untuk menghilangkan segala macam kesamaran dan keraguan yang mungkin timbul dalam kalangan ummat manusia, mari kita lihat baik-baik apa yang diterangkan sebelum dan sesudah ayat Khataman Nabiyyin. Perkataan “khataman nabiyyin” saja, belumlah dapat dibentuk satu kalimah yang dari padanya dapat dijadikan sebagai satu pengertian, atau satu kabar. Susunan perkataan “khataman nabiyyin” itu adalah murakab, yang dinamakan dengan “murakab idhafi” yang tidak dapat dijadikan sebagai hukum atau satu kejadian yang menjadi satu dalil. Satu mufrad singular yang belum menjadi kalimah sentence, dan hubungannya belum di­nyatakan sebagai satu hukum atau undang-undang, tidak dapat dijadikan sebagai satu dalil oleh seseorang, dan tidak pula dapat dijadikan sebagai mukaddimab bagi sesuatu dalil. Yang benar ialah, supaya ayat itu disebutkan dalam bentuk keseluruhan­nya, dibacakan sebelum dan sesudah ayat itu, dan ayat-ayat yang lain harus diperhatikan pu­la supaya bisa dimengerti untuk apakah perkataan “khataman nabiyyin” itu diletakkan dalam kalimat, dan apa maksudnya? Keseluruhan ayat itu berbunyi “Maa kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum Walakin Rasulallah Wa khataman nabiyyin. Wa kanallahu bikuili syai’in alima”. Ayat ini terdiri empat bagian 1 Maa kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum. 2 Walakin Rasulallah. 3 Wa khataman nabiyyin. 4 Wa kanallahu bikuili syai’in alima. Bagian pertama dari ayat ini sudah jelas dan sudah terang maksudnya, bahwa Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki kamu. Hubungan ayat ini dengan ayat yang sebelumnya, bahwa telah terjadi perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan Zainabrta yang telah diceraikan oleh Zaid sebagai suaminya. Pada waktu sebelumnya Zaid itu telah diangkat sebagai anak oleh Nabi Muhammad SAW, sedangkan Zaid bukanlah berasal dari nutfah beliau dan hanya sebagai anak angkat saja. Disebabkan perkawinan beliau dengan bekas isteri anak angkat beliau itu, maka dikhawatirkan sangat, bahwa jangan-jangan menjadi satu celaan dari pihak lain, bahwa beliau telah mengawini menantu beliau yang tidak dibenarkan oleh adat orang-orang Quraish Arab di masa itu. “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak-anak kandung kamu. Yang demikian itu adalah omongan kamu dengan mulut kamu” Al­Ahzab 5 Menyamakan anak angkat dengan anak kandung sendiri dalam segala hal, tidaklah dibenarkan Tuhan. Jangankan Zaid, sedangkan dari golongan laki-lakimu yang begitu banyak, seorang pun tidak ada yang menjadi anak dari Muhammad, dan beliau bukanlah bapak kamu. Kenapa Muhammad tidak bolen kawin dengan seorang janda yang sudah diceraikan oleh suaminya, apalagi Zaid itu bukanlah anak kandung dari Muhammad? Ini adalah penjelasan dari ayat bagian pertama. Perkataan “Lakin” diperguna­kan untuk menghilangkan keraguan yang timbul pada kalimat yang sebelumnya. Bagian kedua dari ayat tadi “walakin RasulaIlah” tetapi adalah utusan Allah. Dalam bagian ayat ini terdapat perkataan “lakin” yang artinya “tetapi”. Selamanya perkataan “lakin” dipergunakan untuk menghilangkan sesuatu kesamaran atau keraguan yang timbul dalam kalimat yang sebelumnya. Dalam Muslim Isubut diterangkan tentang perkataan “lakin” begini “Lakin khafifatan was­taqilatan lil istidraki. Wahua raf’ut tawahhunii nasyi-u anis­sabiqi. Wasyartuhul ikhtilafu kaifan wa ma’nan”. “Lakin” itu baik ia khafifah atau staqilah, adalah gunanya untuk istidrak. Yang dikatakan istidrak, yaitu menghilangkan keraguan yang terjadi dalam kalimat yang sebelumnya. Dan syaratnya ada­lah berlawanan dalam segi kaifiat dan makna. Dalam kitab Syarah Jami diterangkan “Wa lakin lil istidraki. Wama’nal istidraku raf’u tawahhamu yatawalladu minal kalamil mutaqaddamu tawassatu baina kalamaini mutaghayyaraini nafyan wa isbatan ma’nan ai taghayyuran ma’nawiyyan. Waddaruriyyu hua lima’ nawiyyin”. “Lakin” itu gunanya untuk istidrak. Yang dikatakan istidrak, ialah menghilangkan keraguan yang timbul atau terjadi pada kalimat yang sebelumnya. Ia terletak diantara dua buah kalimat yang berlainan dalam hal mengiakan dan menidakkan menurut arti dan makna, dan yang terpenting dalam segi makna. Dalam kitab Tahzibut Taudhih juz pertama, halaman 79 ada tertulis “Lakin wahia lil istidraki. Wahua ta’qibul kalam binnafyi ma yatawahhamu tsubutuhu au bi itsbati ma yatawahhamu nafyuhu. Famitsalul awwali Aliyyun syuja’un lakinnahu bakhilun. Rufi’at bilakin tawahhamu annahu karimum limulazimatil karamusy syuja’ah. Wamitsasus tsani qauluka Ibrahimu jubbanun, lakinnahu karimum. Atsbata bihal karamul lazi yatawahhamu nafyuhu min itsbatil jubnu”. “Lakin” itu gunanya untuk istidrak. Ia mengiringi kalimat dengan nafi apa yang diragukan oleh tsubutnya. Atau meitsbatkan menetapkan apa yang diragukan oleh nafinya tidaknya. Misal yang pertama seperti Si Ali orang berani, tetapi, ia kikir. Dengan perkataan “lakin”, maka hilanglah sangka-sangka yang menganggap ia seorang yang pemurah, karena menurut yang biasa, apabila ada sifat keberanian, sudah barang tentu mesti ada sipat pemurah. Misal kedua Ibrahim seorang pengecut, tetapi ia pemurah. Dengan perkataan “lakin” maka hilanglah syak wasangka buruk yang terdapat pada perkataan pengecut. Dan sekarang ia menjadi orang yang terhormat. Tentang ayat yang bersangkutan. Sekarang datang pertanyaan, keraguan apakah yang terjadi dalam ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum”, yang menyebabkah perlu didatangkan perkataan “lakin” sesudahnya? Untuk menjawab pertanyaan itu, adalah; 1 Jika benarlah nabi Muhammadsaw bukan bapak dari salah seorang laki-laki, tetapi kenapa ayat 6 dalam surat Al-Ahzab ini juga mengatakan “Wa azwajuhu ummahatukum” Isteri-isteri Muhammad adalah ibu kaum? Kalau semua isteri Nabi Muhammad sudah menjadi ibu, sudah tentu beliau sendiri sudah menjadi bapak. Tetapi tentang beliau menjadi bapak, ditidakkan dan dibatal­kan oleh ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rija­likum” Muhammad itu bukan­lah bapak dari salah seorang laki­laki kamu. Apakah ini tidak menjadi satu keraguan? Apakah itu tidak satu pertentangan, atau satu kontradiksi, atau satu ta’arrudh namanya. Tidakkah ini menjadi satu celaan pula terhadap Quran? Apakah ini tidak bertentangan dengan ayat “La raiba fihi hudan lil muttaqin”? Jika benarlah Nabi Muhammad itu tidak boleh dipanggilkan se­bagai bapak karena beliau tidak mempunyai seorang anak laki­laki pun yang hidup sampai dewasa, dan tidak boleh pula seorang laki-laki pun menisbahkan membangsakan dirinya kepada Nabi Muhammadsaw, tentu tidak benar pula apa yang difirmankan Tuhan terhadap musuh beliau “Inna syaniaka hual abtar” Yang putus keturunannya ialah musuh-musuh engkau. Kalau Nabi Muhammad tidak boleh dikatakan bapak, maka samalah nasib beliau dengan nasib musuh beliau sama-sama tidak mempunyai keturunan lagi. Meskipun beliau ada mempunyai anak perempuan, tetapi itu tidaklah masuk bilangan dan yang dihitung adalah anak laki-laki. Jalan Keluar Sebagai jalan keluar dari persoalan yang rumit musykil ini, untuk menghilangkan segala macam keraguan itu, maka didatangkanlah perkataan “lakin” dan di belakang perkataan “lakin” disusulkan perkataan “rasulullah”. Kenapa disusulkan oleh perkataan “rasulullah” dan apakah hikmahnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah simak apa yang dikatakan oleh yang Hadhrat Nawab Siddiq Hasan Khan dalam tafsir Fathul Bayan yang keterangannya dikutip dari Nafsi. Dalam Nafsi diterangkan “Wakullu rasulin abu ummatihi fima yar­ji’u ila ujubit tauqiri lahu alai­him. Wawujubisy syafqati wan­nasihati lahum alaihi”. Telah berkata Nafsi Dan tiap-tiap rasul itu adalah bapak bagi ummatnya. Wajib bagi ummat menghormati dan memuliakan­nya. Dan wajib pula bagi nabi berlemah lembut dan menasehati mereka. Dalam Jamal Syarah Jalalain ada tertulis “Wakullu rasulin abu ummatihi”. Dan tiap-tiap rasul itu adalah bapak ummat­nya. Tersebut dalam Tafsir Khazin, jilid 5, halaman 219 “Inna kul­lu rasulin hua abu umatihi”. Tiap-tiap rasul itu adalah bapak bagi ummatnya. Penjelasan Dengan mendatangkan perkataan “rasulullah” sesudah per­kataan “lakin” sekarang mulalah cerah cuaca gelap yang ditimbulkan oleh hal tidak diakuinya Nabi Muhammad saw. oleh Tuhan sebagai bapak dari salah seorang laki-laki, karena bapak yang dimaksud oleh ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum”, adalab bapak secara jasmani dan bukan bapak secara rohani. Bahwa beliau sebagai bapak rohani, tetap diakui, karena beliau adalah seorang Rasul Allah dan Rasul Allah itu, adalah bapak dari umatnya, yaitu bapak rohani. Tambahan lagi ayat 7 yang mengatakan “wa azwajuhu umma­hatukum” semua isteri beliau adalah ibu mereka, yaitu ibu bagi orang-orang mukmin, yang dimaksudkan ibu disini adalah ibu rohani, bukan ibu jasmani. Dengan penjelasan ini, maka maksud bagian kedua dari ayat “ma kana Muhammadun” tadi sudah jelas sekarang, yaitu 1Bahwa Nabi Muhammad itu bukanlah bapak menurut arti jasmani, tetapi beliau adalah bapak dalam arti rohani. 2Isteri-isteri beliau kesemuanya bukanlah ibu dalam arti jasmani, tetapi beliau itu adalah ibu dalam arti rohani pula. Dengan jalan begini, tidak ada kontradiksi lagi antara ayat 7 dengan ayat 41. Dengan keterangan ini, hilanglah semua keraguan serta kesamaran yang timbul pada ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum” dan semua keraguan serta kesamaran itu dilenyapkan oleh perkataan “lakin” yang dipergunakan untuk istidrak. Tafsir ayat bagian ketiga Bagian ketiga dari ayat tadi adalah “khataman nabiyyin”. Orang-orang mengatakan bahwa “khataman nabiyyin” itu adalah penutup nabi-nabi, penghambat bagi kedatangan nabi, nabi yang penghabisan, nabi yang terakhir, penutup rantai kenabian dlsb. Sekarang marilah kita periksa, apa arti yang sebenarnya dari “khataman nabiyyin” itu, apakab hubungan antara ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Kalau ayat “khataman nabiy­yin” itu diartikan dengan arti yang tersebut di atas, adakah ia sesuai menurut mahal atau tempat? Perkataan “khataman na­biyyin” bukanlah satu kalimat atau sentence yang dapat dikatakan, bahwa ia dengan secara langsung dipergunakan untuk menjawab satu pertanyaan, dan ia mempunyai satu pengakuan. Tetapi ia adalah satu mufrad atau singular yang tanpa hubungan dengan yang sebelumnya tidak mempunyai arti apa-apa. Dan untuk satu hukum, ia tidak dapat menentukan. Sekarang yang harus kita perhatikan, apakah ia terpisah letaknya dalam kalimat, ataukah ia terikat dengan kalimat yang sebelumnya. Perhatikanlah tentang waw’athaf Untuk mengetahui bahwa perkataan “khataman nabiy­yin” itu bukanlab satu kalimat atau sentence yang berdiri sendiri, dan ia mempunyai hubungan dengan kalimat yang sebelumnya, adalah mudah sekali, karena sebelum perkataan “khataman nabiyyin” terdapat satu huruf yang disebut huruf athaf, yaitu waw. Huruf athaf ini kerjanya untuk menyatukan, atau untuk memperhubungkan antara satu bagian kalimat atau satu perkataan dengan bagian kalimat atau dengan perkataan lain dalam sebuah kalimat, yang dalam grammar bahasa Inggeris dapat disebutkan conjuction. Perkataan atau bagian kalimat yang terletak di belakang “waw” ini tidak dapat memi­sahkan diri dari perkataan atau kalimat yang terletak sebelumnya. Di waktu kalimat itu berbentuk satu jumlah sekalipun, yang ada mempunyai tanggung jawab, ia tidak dapat mengasingkan dirinya dari kalimat sebelumnya, konon pula lagi ketika ia berbentuk mufrad atau singular. Ringkasnya, sebelum perkataan “khataman nabiyyin” ada “waw” yang dikatakan huruf athaf. Arti athaf ialah memalingkan dan mengembalikan. Huruf athaf adalah satu huruf yang memalingkan atau mengembalikan. Kalimat atau perkataan yang terletak di belakangnya dinamai “’Ma’thuf”, dan kalimat atau perkataan yang sebelumnya dinamai “ma’ thuf alaih”. Huruf “waw” memutar kalimat atau perkataan yang di belakangnya dan mempersatukannya dengan kalimat atau perkataan yang sebelumnya. Keadaan apa yang terjadi pada kalimat atau pada perkataan yang sebelumnya, jadi pula pada kalimat atau perkataan yang ada di belakangnya, dan hukum kedua kalimat itu di­satukannya, yakni kedua kalimat itu dijadikannya menjadi satu corak. Apa yang dinisbahkan kepada yang pertama, dinisbahkannya pula kepada yang kedua. kita ambil contoh sebuah misal, yaitu “Ja-a Zai­dun wa’ Umarun” Telah datang si Zaid dan si Umar. Antara perkataan Zaid dan Umar, terdapat huruf “waw” yang dinamakan huruf athaf dan arti “waw” itu “dan”. Maksud dan fungsi “waw” itu mengembalikan, membalikkan, memutar Umar kepada Zaid. Kedua-duanya, Zaid dan Umar, sama-sama dijadikan berkongsi dalam satu pekerjaan, yaitu datang. Sebagaimana kerja Zaid “datang”, begitu pula kerja Umar “datang”. Pekerjaan “datang” adalah perbuatan Zaid dan Umar. Satu misal lagi “Dharabtu Zai dan wa Umaran” Saya telab memukul Zaid dan Umar. Dalam kalimat ini penanggungan Zaid dan Umar adalab sama, yaitu sama-sama kena pukul. Tidaklah mungkin Zaid saja yang kena pukul, sedangkan Umar tidak. Tegasnya huruf “waw” adalah semacam huruf yang menyatukan hukum antara kalimat atau perkataan yang di belakangnya dengan kalimat atau perkataan yang sebelumnya. Tidaklah bisa jadi dan tidaklah mungkin, bahwa atau perkataan yang sebelumnya lain maksudnya, dan kalimat atan perkataan yang di belakang lain pula maksudnya. Sekarang marilah perhatikan ayat khataman nabiyyin bagian ketiga dari pembagian tadi, dan apakah hubungannya dengan ayat wa lakin rasulullah, yang termasuk dalam bagian kedua dari ayat itu? Oleh karena antara ayat rasulullah dan ayat khataman nabiyyin terdapat “waw athaf” yang mengembalikan dan yang mempertemukan perkataan khataman nabiyyin dengan perkataan rasulullah, maka untuk apa perkataan rasulullah itu dipergunakan, untuk itu pulalah perkataan khataman nabiyyin itu dipergunakan. Tidaklah mungkin bahwa perkataan rasulullah itu dipergunakan untuk suatu maksud tertentu, tetapi perkataan khataman nabiyyin datang untuk membatalkan maksud itu. Sudah pastilah., bahwa apa yang sedang ditentukan oleh perkataan rasulullah, dikuatkan oleh perkataan khataman nabiyyin. Dalam uraian di atas tadi sudah diterangkan, bahwa perkataan rasulullah yang terdapat pada ayat yang sedang dibicarakan gunanya adalah untuk menyatakan, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah seorang bapak dalam segi kerohanian, yaitu beliau adalah bapak bagi kese­luruhan orang-orang mukmin. Manakala sudah jelas apa yang dimaksudkan oleh perkataan rasulullah, yaitu bapak rohani, sudah pasti bahwa kedatangan perkataan khataman nabiyyin dalam ayat ini adalah gunanya untuk menyempurnakan maksud dari perkataan rasulullah itu. Satu hal yang tidak mungkin, bahwa kepada ma’thuf alaih dinisbahkan satu ketentuan yang tertentu, tetapi kepada ma’thuf dinisbahkan hal yang lain. Ti­daklah mungkin, bahwa apabila dikatakan “Ja-a Zaidun wa Umarun” telah datang si Zaid dan si Umar, terhadap Zaid dinisbahkan perkataan datang, tetapi terhadap si Umar dinisbahkan perkataan duduk. Wallauhua’alam Ber­sambung. Masroor Library – Muhammad SAW bukanlah bapak salah seorang diantara kaum laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah SWT dan materai/stempel/mensahkan sekalian nabi, dan Allah SWT itu Maha Mengetahui segala sesuatu Al-Ahzab[33] 40/41 Telah menjadi kenyataan perselisihan arti dari ayat tersebut di atas kini sudah mencapai titik rawan cap kafir, sekalipun Rasulullah SAW telah bersabda bahwa, “Barang siapa memanggil atau menyebut seseorang itu kafir atau musuh Allah, dan sebenarnya bukan demikian, maka ucapan itu akan kembali kepada orang yang menyatakan itu. Bukhari. Mengenai ciri-ciri orang Islam, beliau SAW. bersabda “Barang siapa sembahyang seperti kami, dan menghadapkan wajahnya ke kiblat kami, dan makan makanan yang kami sembelih, maka ia itu seorang Muslim.Bukhari. Maka di bawah ini kami sajikan secara ringkas arti yang sebenarnya dari ayat tersebut, menurut Rasulullah SAW, para wali dan para ulama tempo dahulu, sbb. “Khatam” berasal dari kata “Khatama” yang berarti “Ia memeterai, mencap, mensahkan, atau mencetakkan pada barang itu”. Inilah arti pokok kata “khatam” itu. Adapun arti kedua kata “khatam” ialah “Ia mencapai ujung benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau cap di atasnya, atau dengan meterai jenis apapun” “Khatam” berarti juga “sebentuk cincin stempel, sebuah segel atau meterai dan sebuah tanda”. Kata itu pun berarti “hiasan atau perhiasan, terbaik atau paling sempurna” Lane, Mufradat, Fat-h dan Zurqani. Jadi kata “Khataman-nabiyyin” berarti “Materai pada nabi yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi“…”hiasan dan perhiasan nabi-nabi, baik yang sudah-sudah maupun yang akan datang“ Dalam hadits Qudsi kesempurnaan Rasulullah SAW itu diterangkan sebagai berikut Artinya “Jika Tidak Karena kau hai Muhammad, Kami tidak akan membuat bumi, langit dengan seisinya ini !“ Itulah arti “Khataman-nabiyyin” yang sesungguhnya, bahwa “Rasulullah SAW adalah NABI YANG PALING SEMPURNA !” Dalam Kanzul Umal jilid II Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Aku tertulis di sisi Alku sebagai Khatamannabiyyin dan sesungguhnya Adam dalam keadaan campuran air dan tanah”. Jelas maksudnya adalah “kesempurnaan” bukan penutup, karena sejak Adam AS sampai kini sudah ribuan Nabi datang ke dunia ! Jadi maksudnya bahwa, “Rasulullah SAW telah mencapai ketinggian dan martabat kenabian yang paling tinggi, yang tidak dapat dicapai oleh manusia lainnya !“ Dan menurut ungkapan bahasa Arab, baik yang dipergunakan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para ulama tempo dahulu, demikian pula dalam pemakaian bahasa sehari-hari, bahwa, bila kata “khatam” di-mudaf-kan di- rangkaikan dengan kata yang berbentuk jama’ banyak/orang banyak, dan dipakai dalam “maqam pujian” maka orang termaksud dalam ungkapan itu, harus merupakan yang “paling tinggi dan paling afdol” dari sejumlah orang yang tersebut belakangan mudafilaih. Contoh 1. KanzulUmaljuz. VI. 178 “tenangkanlah hatimu wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah khatam orang- orang yang berhizrah, seperti aku adalah khatam Nabi-nabi. 2. Tafsir Saf i S. Ahzab “Aku adalah khatam Nabi-nabi dan engkau wahai Ali khatam wali-wali” 3. Abu Taman Syair disebut Khatamasy- syuara Wafiyyatil ayan jld. 1 4. Hazrat Imam Sayuti disebut Khatamul-Muhaqiqqiin Tafsir lttiqan 5. Hazrat Syaikh Waliullah Dehlawi disebut Khatamal-Muhaddasiin U jala Nafi. jld. 1 6. Syaikh Rasyid Riza Misri disebut Khatamal Mufasiriin A Uamiatul Islamiah 9 Jomadas sanilJ54H. 7. Al Syaikh Syamsuddin disebut Khatamatal- Huffazi At Tajridus Srih, Muqadimah H. 4 8. Imam Muhammad Abduh Misri disebut Khatamal-Aimmati Tafsir Al-Fatiha H. 148 9. Manusia disebut Khatamal-Makhluqati-Jasmania Tafsir Kabir jld. Matbua-Misr. 10. Rasulullah Khatamal- Kamiliin Hujjatul- Islam H. 35 11. Hazrat Isa Khatamal Asfia Al-AimmatiBaqiyyatul Mutagaddimiin H. 184 Kesemuanya contoh-contoh di atas, sesuai dengan faktanya berarti tersempurna bukan penutup. Untuk lebih jelasnya arti Khataman-Nabiyyin itu adalah sbb. I. Rasulullah SAW. adalah meterai para nabi, yakni, tiada nabi yang dapat dianggap benar, kalau kenabiannya tidak dimateraikan Rasulullah, dan juga tiada seorangpun yang dapat mencapai kenabian sesudah beliau, kecuali dengan menjadi pengikut beliau. 2. Rasulullah SAW. adalah yang terbaik, termulia dan tersempurna dari semua nabi. Dan juga menjadi, sumber hiasan bagi mereka Zurqani, Syarah Muwahib-al-Laduniyyah. 3. Rasulullah SAW adalah nabi yang terakhir pembawa syari’at. Penafsiran ini diterangkan oleh para ulama terkemuka, orang-orang suci dan Waliullah seperti Ibnu Arabi, Syekh Waliullah, Imam Ali Qari, Mujadid Alf Tsani, dll. Menurut beliau-beliau itu, nabi yang tidak dapat datang sesudah Rasulullah SAW itu ialah yang memansukhkan membatalkan millah beliau, atau yang datang dari luar umat beliau ! Futuhat, Tafhimat, Maktubat dan Yawakit wal Jawahir. Sedang nabi yang akan meneruskan missi beliau, malah beliau sendiri menjanjikan, bahwa akan datang Nabi Isa yang dijanjikan yang akan datang dari umat Islam sendiri Bukhari. Itulah arti yang sebenarnya dari KHATAMAN -NABIYYIN. Jelas, Kebalikannya dari pada itu, jika dari antara murid beliau samasekali tidak akan ada yang dapat mencapai pangkat kenabian, malah dikalangan umat beliau rusak, untuk memperbaikinya terpaksa mendatangkan nabi kaum lain, itu bukan kemulyaan malah, ….na’udzubillah… kerendahan bagi beliau ? Coba perhatikan ayat-ayat Al-Qur-an ini 1. Surat Al-Fatihah, 2. An-Nisa [4] 69[70] 3. Al-Hajj [22] 75[76] 4. Al-Araf[7] 35[36] 5. Al Baqarah[2] 134[135] 6. Ali-Imran [3] 81-179[82-180] 7. Al-Ahzab [33] 7-8[8-9];46-47[47-48] 8. Bani Israil [17] 15[16]; 58[59] 9. Al-Mu’minun [23] 50[51] 10. Al-Mumin [40] 34[35] 11. Al-Jin [72] 7[8] 12. Al-Maidah [5] 3[4] 13 Ash-Shafaat [37] 72[73] Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa pintu kenabian masih terbuka sampai hari Qiamat, jadi tidak mengizinkan mengartikan Khatamannabiyyin bertentangan dengannya ! BISA JADI DALAM MENGARTIKAN KHATAMAN NABIYYIN INI, TERPENGARUH OLEH HADITS yang ber- bunyi LA NABIYYA BA’DA ? Maka sebagai jawabannya periksalah hadits ini. Dan perhatikanlah pula sabda Hazrat Aisyah RA ini. Tafsir Durri Mansur Suyuti jld. 5 h. 204 dan Takmilah Majmaul Biliar. H. 75. Dan mungkin terpengaruh juga oleh hadits ini Artinya Aku adalah nabi terakhir dan masjid-ku adalah masjid terakhir ? Maksud hadits ini ialah, bahwa RASULULLAH SAW itu NABI yang PALING MULIA, sebagaimana masjid beliau di Madinah adalah yang paling mulia, BUKAN PENUTUP… kenyataannya sampai sekarang di seluruh dunia ratusan ribu masjid dibangun terus. Dan harus diperhatikan pula, bahwa baik urusan dunia maupun agama atau ilmu bahasa tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa yang datang akhir itu yang mulia. Sedangkan banyak sekali ulama umat Islam yang mengakui kenabian tanpa syari’at sesudah Rasulullah SAW. Nama-nama beliau-beliau sbb. 1. Hasrat Aisah RA wafat 58 H 2 Imam Fahruddin Razi RH, wafat 606 H 3 Hazrat Syaikh Fahruddin Attar, wafat 620 H 4 Imam Muhyiddin Ibnu Arobi RH, wafat 638 H. 5. Maulana Ruum RH wafat 672 H 6 Hazrat Sayyid Abdul Karim Jailani RH wafat 767 H 7 Allamah Ibnu Chaldun, wafat 809 H 8 Imam Muhammad Tahir RH, wafat 986 H 9 Imam Abdul Wahab Sya’rani RH wafat 976 H 10 Imam Mulia Ali Qari, wafat 1014 H 11 Hazrat Shah Waliullah Muhaddas Dehlawi wafat 1176 H 12 Hazrat Mujaddid Alif sani syaikh Ahmad Serhindi RH wafat 1034 H 13 Maulana Muhammad Qasim Nanotawi, Pendiri Madrasah Dey Band India wafat 129 H 14 Nawab Siddiq Hasan Khan Bupalawi wafat 1307 H Maka adalah kewajiban seluruh kaum Muslimin untuk memperhatikan dan merenungkan arti KHATAMAN-NABIYYIN ini, untuk TIDAK MEMBERIKAN ARTI YANG BERTENTANGAN DENGAN AYAT-AYAT AI-QUR’AN lainnya, dan bertentangan dengan peraturan bahasa Arab dan bahasa-bahasa yang ada di dunia, dari pada memulyakan malah merendahkan derajat Rasulullah SAW ! Mudah-mudahan Allah SWT. memberi taufik dan hidayah kepada segenap kaum Muslimin, untuk dapat menerima karunia berkat dan rahmat-Nya….Aamiin… Penulis NN Artikel sebelumnya tentang Tafsir Khataman Nabiyyin Ungkapan Khatamun-Nabiyyin termaktub dalam ayat 40 surat Al-Ahzab. Para alim ulama Islam sepanjang zaman sepakat bahwa ungkapan tersebut menunjukkan keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan Nabi Suci Muhammad saw., tetapi berbeda orientasinya. Arti ayat itu selengkapnya sebagai berikut ”Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang laki-laki kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel penutup para Nabi khatamun-nabiyyin. Dan Allah senantiasa Yang Maha Tahu akan segala sesuatu.” Secara garis besar, ada tiga pendapat mengenai arti kata khatamun-nabiyyin dalam ayat ini. Pertama, penutup para Nabi. Dalam arti, Nabi Muhammad saw. Adalah Nabi terakhir pengangkatannya, sebagaimana dikemukakan oleh ulama ahli fikih dan kalam. Kedua, materai para Nabi. Dalam arti, Nabi Muhammad saw. Adalah nabi pembawa syariat terakhir, sebagaimana dianut oleh para ulama ahli tasawuf. Ketiga, segel penutup para Nabi. Artinya, Nabi Muhammad saw. adalah yang menutup atau mengakhiri jabatan kenabian. Pendapat ketiga ini dianut oleh Maulana Muhammad Ali, sebagai penegasan pernyataan Ghulam Ahmad tentang mutlaknya keberakhiran kenabian pada diri Nabi Muhammad saw. Sebabnya, sesudah Nabi Suci Muhammad saw., tak akan ada lagi nabi yang diutus oleh Allah, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Nabi Muhammad sebagai Bapak Rohani Maksud ayat seutuhnya menjelaskan masalah kebapaan fatherhood atau abuwwat Nabi Suci Muhammad saw. Secara tersurat, yang dimaksud ayat ini adalah kebapakan jasmani Nabi Suci. Tetapi, secara tersirat ayat ini juga mengandung maksud mengenai kebapakan rohani Nabi Suci. Setiap Rasul adalah bapak rohani bagi umatnya kullu rasulin abu ummatihi. Dan keabadian kebapakan rohani Nabi Suci bagi umat manusia dalam ayat ini disebut dengan istilah khatamun-nabiyyin, artinya segel atau penutup para Nabi. Sebabnya, sesudah Nabi Suci tak ada lagi bapak rohani bagi umat manusia. Ayat di atas akan menjadi lebih jelas lagi jika dihubungkan dengan ayat-ayat lain, seperti misalnya Ayat tentang kesempurnaan Agama Allah dalam Islam QS 53. Ayat-ayat tentang keterutusan beliau untuk segala bangsa QS 7158; 251; 34 28. Ayat-ayat yang memerintahkan agar umat manusia beriman kepada Wahyu Ilahi dan para Nabi terdahulu QS 24, 136, 285. Ayat-ayat tentang kelengkapan dan kesempurnaan akhlak Nabi Suci sebagai suri tauladan QS 684; 3321;982-3. Ayat-ayat tentang penjagaan Ilahi terhadap risalah beliau QS 159; 4142; 5657-58; 8521-22, yang oleh sebab itu tak diperlukan lagi datangnya seorang nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw. Munasabah Ayat Selanjutnya, coba kita tinjau ayat-ayat sebelum 3340 ini. Ayat 35 menjelaskan kesamaan derajat rohani antara pria dan wanita. Ayat 36 menyinggung saran Nabi Suci agar Siti Zainab dinikahkan dengan Zaid, anak angkat beliau. Baik Zainab maupun saudaranya sejatinya enggan kepada pernikahan itu, karena Zaid bekas budak yang dimerdekakan. Ayat 35 dari surat ini menundukkan keengganan mereka itu. Ayat 37 terdiri dari dua bagian yang terpisah, yaitu perceraian Zaid dengan Zainab yang panjang prosesnya, dan perkawinan Nabi Suci dengan Zainab atas restu Allah. Menurut ayat 38 hal ini bukan suatu cacat bagi Nabi Suci. Selanjutnya, ayat 39 menegaskan bahwa ketakutan Nabi Suci hanyalah kepada Allah saja. Yang ditakutkan oleh Nabi Suci dari sesama manusia adalah tuduhan keji kaum kafir dan munafik bahwa Nabi Suci menikahi menantunya sendiri. Tuduhan yang terus berlangsung sampai sekarang ini muncul karena menurut budaya jahiliyah, kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung. Tuduhan berlatarbelakang budaya jahiliyah inilah yang menjadi asbabun nuzul ayat ke-40. Dengan penegasan ”Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang lelaki kamu,” mengandung arti bahwa Zaid bukanlah anak Nabi Suci, tetapi anak bapaknya secara biologis, yakni Haritsah. Ayat ini bermaksud menjelaskan tentang kedudukan anak angkat menurut syariat Islam tidak sama dengan anak kandung. Dengan demikian beliau tidak menikahi menantunya sendiri. Di samping itu, penegasan tersebut mengandung petunjuk bahwa silsilah jasmani Muhammad saw. terputus, sebab anak-anak lelaki beliau wafat tatkala mereka masih kanak-kanak. Maka dari itu orang-orang kafir menyebut beliau abtar, terputus keturunanya. Tetapi menurut 1083 yang abtar adalah kaum kafir. Ayat ini tak bertentangan dengan QS 3340. Sebabnya, kaum kafir hanya melihat yang bersifat jasmani saja, sedangkan Quran Suci, selain melihat yang jasmani dan rohani, tetapi lebih menekankan yang rohani daripada yang jasmani. Maka Quran Suci tetap menganjurkan ”panggilah mereka dengan nama ayah kandung mereka” QS 335, meskipun ada penegasan, ”Nabi bapa rohani itu lebih dekat pada kaum mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah sebagai ibu mereka” QS 336. Keterputusan silsilah silsilah Muhammad saw secara jasmani, seakan-akan suatu cacat bagi beliau. Tetapi, secara rohani silsilah beliau berlangsung terus dan tak berkesudahan. Karena itulah beliau disebut khatamun-nabiyyin, segel penutup para Nabi, sebab sesudah beliau tak ada Nabi bapa rohani lagi. Sebaliknya, kaum kafir penentang beliau benar-benar terputus, karena pasca Fathul-Makkah anak-anak mereka, bahkan diri mereka sendiri menjadi anak-anak rohani Muhammad saw. Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, mereka masuk Islam dengan tulus. Khatam dan Khatim Secara linguistik kata khatam dapat dibaca khatim, sebagaimana bisa kita baca dalam mushaf Warsy, yang makna aslinya adalah penutup para Nabi. Tetapi jika dibaca khatam, artinya segel para Nabi. Makna ini lebih dalam daripada kata penutup para Nabi. Karena kata khatam mengandung arti penutup yang digabung dengan kesempurnaan wahyu kenabian bersamaan pula dengan kelestarian penganugerahan sebagian wahyu kenabian di kalangan pengikut beliau. Berbagai riwayat Hadits mendukung arti khatamun-nabiyyin dalam arti penutup para nabi. Dalam sabdanya, Nabi Suci antara lain menyatakan bahwa ”para Nabi itu bersaudara” HR Bukhari. Beliau bersabda pula bahwa tak akan ada lagi Nabi sesudah beliau la nabiyya ba’di, HR Bukhari. Beliau juga bersabda, ”ana al’aqib, aku adalah yang penghabisan” HR Bukhari. Adapun mengenai ”Isa Al-Masih yang akan datang” HR Muslim, Nabi Suci menyebutnya sebagai”immamukum minkum, imam kamu dari antara kamu” HR Bukhari. Artinya, Isa Al-Masih yang akan datang kemudian itu bukan seorang Nabi, melainkan hanya sebagai khalifah beliau. Para sahabat pun berpendapat yang sama dengan beliau dalam hal ini.[] Oleh Simon Ali Yasir Navigasi pos Berikut adalah penjelasan tentang Muhammad Khataman Nabiyyin Al-Qur’an Mukjizat Yang Agung Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw QS 473 [1] sebagai mukjizat yang paling besar, sebab kitab ini berisi syariat yang sempurna yang berlaku sepanjang masa QS 54 di dalamnya mengandung ajaran kebenaran kitab-kitab sebelumnya QS 984. Kitab ini juga membenarkan ajaran kebenaran kitab-kitab sebelumnya dan mengoreksi atau meluruskan ajaran yang salah dari kitab-kitab sebelumnya QS 549, dan kesucian Al-Quran ini dijaga oleh Allah QS 1510. Kitab ini mempunyai kemampuan untuk membuat orang yang sudah mati rohaninya bisa berbicara untuk tabligh dan tarbiyat tentang agama QS 1331. Contoh kongkrit dalam hal ini adalah bangsa Arab yang semula bodoh, biadab, sadis, dan saling bermusuhan, berubah menjadi bangsa yang pandai, berakhlak luhur, kasih sayang kepada sesama, bersatu dan bersaudara berkat Al-Quran. Pendek kata kitab ini memiliki kedalaman dan keluasan ilmu yang para ulama tidak akan pernah merasa kenyang.[2]Bahkan satu kata dari ayat kitab ini terkadang mempunyai makna sampai 20 segi arti. Imam As-Sayuthi rh berkata وَقَدْ جَعَلَ بَعْضُهُم ذٰلِكَ مِنْ اَنْوَاعِ مُعْجِزَاتِ الْقُرْآنِ حَيْثُ كَانَتِ الْكَلِمَةُ الْوَاحِدَةُ تَنْصَرِفُ اِلٰى عِشْرِيْنَ وَجْهًا “Dan sungguh sebagian mereka menjadikan itu semacam mukjizat bagi Al-Quran, sehingga kadang-kadang satu kata kembali kepada dua puluh segi arti.” Al-Itqaan Baca juga Beberapa hal Tentang Nabi Terakhir – Dalil Al-Qur’an dan Hadits Aneka Tafsir Khataman Nabiyyin Para ulama sangat bervariasi dalam menafsirkan kata “Khataman Nabiyyin”. Namun, semuanya menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan Nabi Muhammad saw dan syariat Islam yang telah beliau saw terima dan yang beliau contohkan dan beliau jelaskan. Diantara ulama terkemuka yang memberikan tafsir kata Khataman Nabiyyin’ tersebut ialah Allamah Az-Zarqani rh menulis bahwa kalau khaatam dibaca dengan fathah di atas huruf Ta’ ت , sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, maka artinya ialah اَحْسَنُ الْاَنْبِيَآءِ خَلْقًا وَ خُلُقً “Sebagus-bagus nabi dalam kejadian dan dalam hal akhlak.” [3]Allamah Ibnu Khaldun rh seorang ahli tasawuf menulis dalam kitabnya bahwa kata Khataman Nabiyyin diartikan dengan اَالنَّبِيُّ الَّذِيْ حَصَلَتْ لَهُ النُبُوَّةُ الْكَامِلَةُ Artinya “Nabi yang telah mendapat kenabian yang sempurna.” Muqaddimah, pasal 52Imam Mulla Ali Al-Qari rh menulis bahwa khaataman-nabiyyin’ itu adalah khaataman-nabiyyin berarti “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yang akan memansukhkan menghapus agama Islam dan yang bukan dari umat beliau saw.” Al–Maudhuu’at, Asy-Syarif Ar-Radhi rh menulis tentang Khataman Nabiyyin وَالْمُرَادُ بِهَا اَنَّاللهَ تَعَالَى جَعَلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَفِظًا لِشَرَائِعِ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَكُتُبِهِمْ وَجَمِعًا لِمَعَالِهِمْ دِيْنِهِمْ وَايَاتِهِمْ كَالْخَاتَمِ الَّذِيْ يُطْبَعُ بِهِ الصَّحَائِفُ وَغَيْرُهَا لِيُحْفَظَ مَا فِيْهَا وَيَكُوْنَ عَلَامَةً عَلَيْهَا Maksudnya ialah bahwa Allah swt telah menjadikan Nabi Muhammad saw penjaga bagi syariat dan kitab rasul-rasul semuanya, dan penghimpun ajaran agama dan tanda-tanda mereka sekalian, seperti cap yang dengannya dicapkan di atas surat-surat dan lain-lain supaya dijaga apa yang ada di dalamnya, dan cap itu menjadi tanda bukti penjagaan itu. [4] Syaikh Bali Afendi rh menulis فَخَاتَمُ الرُّسُلِ هُوَ الَّذِيْ لاَ يُوْجَدُ بَعْدَهُ نَبِيٌّ مُشَرِّعٌ فَلاَ يَمْنَعُ وُجُوْدُ عِيْسٰى بَعْدَهُ خَتَمِيَّتَهُ لِاَنَّهُ نَبِيٌّ مُتَّبِعٌ لِمَا جَاءَ بِهِ خَاتَمُ الرُّسُلِ Khaatamur-rusul ialah yang tidak ada sesudahnya nabi yang membawa syariat. Maka adanya Isa sesudah beliau tidak menghalangi ke-khaatamanannya, karena ia Isa itu adalah nabi yang akan mengikuti ajaran yang dibawa oleh khaatamaur-rusul Muhammad saw itu. [5] Menurut kebiasaan ahli bahasa Arab, apabila kata khaatam dihubungkan dengan isim kata benda jamak, maka artinya hanya satu saja, yaitu “paling mulia”. Contohnya, antara lain ا. افْلاَطُوْنَ خَاتَمُ الْحُكَمَاءِ “Plato adalah yang paling mulia diantara orang-orang bijaksana.”[6] ب. انَا خَاتَمُ الْاَنْبِيَآءِ وَاَنْتَ يَا عَلِيُّ خَاتَمُ الْاَوْلِيَاءِ “Aku, Rasulullah saw adalah khaatam bagi nabi-nabi, dan engkau wahai Ali, khaatam bagi wali-wali.” [7] Sabda beliau saw ini bukan berarti bahwa tidak ada wali lagi sesudah Hadhrat Ali ra karena dalam tafsir itu disebutkan juga bahwa tentang ayat اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَاللهِ Hadhrat Ali ra berkata هُمْ نَحْنُ وَاَتْبَاعُنَ Artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu adalah kami dan para pengikut kami.” Hadhrat Imam Ar-Razi menulis dalam tafsirnya bahwa manusia adalah khaatamul-makhluumaat.[8] Kalimat ini tidak bisa diartikan bahwa sesudah Adam tidak ada makhluk lagi. Demikian juga dalam tafsir tersebut dan dalam halaman itu juga disebutkan bahwa akal itu adalah خَاتَمُ الْخَلْعِ الْفَائِضَةِ مِنْ حَضْرَةِ ذِيْ الْجَلاَلِ “Khaatam bagi segala nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia.” Sesudah menulis dua contoh ini beliau berkata وَالْخَاتَمُ يَجِبُ اَنْ يَكُوْنَ اَفْضَل Artinya, khaatam itu pasti afdhal yang paling mulia. Dapat ditambahkan bahwa beberapa ahli bahasa Arab menulis sebagai berikut I. Lafadz khaatam berarti مَا يُخْتَمُ بِهِ مَا يُصَدِّقُ بِهِ Artinya Barang yang dicap dengannya adalah yang dibenarkan olehnya cap; II. Lafadz khaatam juga berarti مُصَدِّقٌ Artinya Yang membenarkan. Dalam QS 3341 disebutkan وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ “…Akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan khaatam sekalian nabi.” Dan disebutkan pula dalam QS 2 102 وَلَمّا جاءَهُم رَسولٌ مِن عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِما مَعَهُم “Dan tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari Allah, yang menggenapi apa yang ada pada mereka.” Jadi kata khaatam dalam ayat QS 3341 ini, jika dihubungkan dengan QS 2102 berarti “Yang membenarkan.” III. Lafadz khaatam juga berarti اَشْرَفُ وَاَفْضَلُ Yakni arti Khataman Nabiyyin yang ketiga ialah “semulia-mulia nabi dan seutama-utama Nabi.” IV. Lafadz khaatam juga berarti زِيْنَةٌ arti khaatam adalah “keindahan atau perhiasan.” [9] Allamah Abul Baqa Al-Akbari rh menjelaskan bahwa salah satu arti khaataman-nabiyyin ialah الْمَخْتُوْمُ بِهِ النَّبِيُّوْنَ Artinya Segala nabi dicap dengannya. Lihat kitab Imlaau Maa Manna Bihir RahmanKita sama-sama mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw tidak mempunya anak laki-laki yang berumur panjang. Itulah sebabnya orang-orang kafir menamai beliau abtar yang punah, tidak mempunyai keturunan. Tatkala Allah berfirman, “Tidaklah Muhammad itu bapak dari seseorang laki-lakimu.” QS 3341, maka orang-orang kafir tentu saja merasa gembira karena firman ini membenarkan kata mereka bahwa Nabi Muhammad saw seorang punah, karena beliau tidak mempunyai keturunan laki-laki. Allah swt berfirman, “Apa gunanya keturunan? Gunanya supaya nama orang itu hidup selama keturunannya masih ada. Kalau begitu Nabi Muhammad saw bukan orang punah, karena beliau rasul dan nabi, sedangkan tiap-tiap nabi adalah bapak bagi umatnya dan umatnya itu adalah sebagai anak cucunya. Tersebut dalam Tafsir Fathul-Bayan قَالَ النَسَفِيُّ كُلُّ رَسُوْلٍ اَبُوْ اُمَّتِهِ Artinya Imam An-Nasafi berkata bahwa tiap-tiap rasul adalah bapak bagi umatnya. Nabi Muhammad saw sendiri bersabda اِنَّمَا اَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ Artinya “Sesungguhnya aku bagi kamu adalah menempati kedudukan sebagai bapak.” [10] Perihal nabi menjadi bapak bagi para pengikutnya adalah sama bagi semua nabi dan rasul. Maka dari itu dengan khaataman-nabiyyiin itu dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw bukan saja bapak bagi umat beliau, tetapi bapak pula bagi semua nabi dan rasul. Inilah arti khaataman-nabiyyin yang sudah dijelaskan oleh Maulana Muhammad Qasim Nanatowi dalam kitab Tahdzin-Naas. Allamah Abul Baqa rh menulis dalam kitab Kulliyat وَالْاَحْسَنُ اَنَّهُ مِنَ الْكَتْمِ لِاَنَّهُ سَاتِرُ الْاَنْبِيَآءِ بِنُوْرِ شَرِيْعَتِهِ كَا لشَّمْسِ تَسْتُرُ بِنُوْرِهَا الْكَوَاكِبَ كَمَا اَنَّهَا تَسْتَضِيْئُ بِهَا Kata khaatam lebih baik dipakai dengan arti khaatama, karena Nabi Muhammad saw menutup segala nabi dengan nur syariatnya, sebagaimana matahari menutup segala bintang dengan cahayanya, dan begitu juga bintang-bintang itu menerima cahaya daripadanya. Sikap Para Ahli Tafsir Para ulama Islam mengakui bahwa hanya karena perselisihan mengenai tafsir dan takwil seseorang tidak boleh dikafirkan, apalagi kalau tafsir dan takwilna itu didukung dan dibenarkan oleh Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah saw, dan ilmu bahasa Arab. Imam Al-Khatthabi rh berkata وَلَمْ يَثْبُتْ لَنَ اَنَّ الْخَطَأَ فِىْ التَّأْوِيْلِ كُفْرٌ “Kami tidak mempunyai keterangan yang sah bahwa oleh karena kesalahan tentang takwil, maka orang yang menakwilkan itu menjadi kafir.” [11] Allaamah Ibnu Daqiqil-Id rh menulis اِذَا كَانَ التَّأْوِيْلُ قَرِيْبًا مِنْ لِسَانِ الْعَرَبِ لَمْ يُنْكَرْ “Apabila takwil itu dekat kepada bahasa Arab maka ia tidak dimungkiri lagi.”[12] Allaamah Rasyid Ridha rh menulis وَالتَّفْسِيْرُ الْمُوَافِقُ لِلُغَةِ الْعَرَبِ لاَ يُسَمَّى تَأْوِيْلاً “Tafsir yang sesuai dengan bahasa Arab tidak dinamai takwil.” [13] Pendapat Yang Perlu Diuji Sebagian ulama ada yang mengartikan khaatam dengan penutup atau penghabisan. Orang Islam yang tidak mengadakan penelitian lebih jauh akan menerima kedua arti itu secara dangkal, tanpa mempertimbangkan Sembilan arti yang telah dikemukakan ulama terkenal tersebut. Sikap demikian ini tidak hanya bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah saw, pendapat para sahabat, para ulama dan bahasa Arab, tetapi juga merendahkan hak Allah swt dan martabat Rasulullah saw. Sebagai orang mukmin seharusnya mengadakan penelitian dengan seksama setiap pendapat yang dikemukakan oleh orang mukin alim lainnya, karena setiap informasi yang disampaikan oleh orang durhaka saja Allah swt menyuruh orang mukmin agar mengadakan penelitian. Apalagi jika pendapat yang dikemukakan oleh seorang mukmin yang alim, berlandaskan Al-Quran, hadits Rasulullah saw dan masuk akal. Allah swt berfirman يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنوا إِن جاءَكُم فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنوا أَن تُصيبوا قَومًا بِجَهالَةٍ فَتُصبِحوا عَلىٰ ما فَعَلتُم نادِمينَ أَمرًا مِن عِندِنا ۚ إِنّا كُنّا مُرسِلينَ “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang yang durhaka dengan membawa suatu kabar, telitilah dengan seksama, supaya kamu tidak mendatangkan musibah terhadap suatu kaum tanpa pengetahuan, lalu kamu menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan.” QS 49 7 Apabila khaatam diartikan penutup akan menimbulkan pengertian yang rancu, sebab arti ini membuat hak Allah swt dan martabat Rasulullah saw menjadi kurang jelas, jika dihadapkan dengan pertanyaan berikut ini Sanggupkah Nabi Muhammad saw menutup para nabi?Para nabi mana yang ditutup Nabi Muhammad saw? Apakah para nabi yang telah diutus sebelum beliau atau para nabi yang akan diutus setelah beliau?Siapakah yang mempunyai hak mengutus para nabi atau rasul itu? Menurut firman Allah swt, dalam Al-Quran hanya Allah swt yang berhak mengutus para Nabi atau Rasul itu, bukan orang lain. Allah swt berfirman أَمرًا مِن عِندِنا ۚ إِنّا كُنّا مُرسِلينَ “Perintah dari Kami, sesungguhnya Kami Allah lah yang senantiasa mengutus para Nabi atau Rasul.” QS 44 6 Jadi , yang mengutus nabi dan rasul itu hanya Allah swt saja, maka jelaskah bagi kita bahwa oleh karena Allah swt saja yang mengutus para Nabi, maka Dia jugalah yang bisa menutup kedatangan mereka. Mustahil Allah swt yang mengutus para Nabi, tetapi orang lain bisa menutup mereka. Seandainya arti khaataman-nabiyyin itu yang menutup para nabi, maka Allah-lah yang seharusnya bersifat khaataman-nabiyyin, bukan orang lain. Sektab PB JAI, Cet. 1. 2017 [1] Penulisan nomor ayat Al-Quran dalam brosur ini berdasarkan Hadits Nabi Besar Muhammadsaw. riwayat sahabat, Ibnu Abbasra yang menunjukkan bahwa setiap Basmalah pada tiap awal surah adalah ayat pertama dari surah itu. كَنَا لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتّٰى يَنْزِلَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Nabi Muhammadsaw. tidak mengetahui pemisahan antara surah itu sehingga bismillaahirrahmaanirrahiim turun kepada beliausaw..” [HR. Abu Daud, “Kitab Shalat” dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” [2] HR Ibnu Syaibah dan At-Tirmidzi; dan Kanzul Ummal, Juz I/997 [3] Syarah Al-Mawahibul Ladunniyah, Juz III, hal. 163 [4] Talkisul-bayan fi Majazatil-Quran, hal. 192-191 [5] Syarah Fushulul Hikam, hal. 56 [6] Miratusy-Syuruh, hal. 38 [7] Tafsir Ash-Shafi [8] Tafsir Kabir, Juz VI, hal. 22 [9] Gharibul-Quran fi Lughatil-Furqan [10] Al-Jamiush-Shaghir, Pasal alif, hal. 103 [11] Syawahidul-Haqq, Hal. 125 [12] Tafsir Ruhul-Ma’ani, Juz III, hal. 78 [13] Tafsir Quranil-Hakim, Juz I, hal. 353 Dikompilasi dari berbagai tulas, hasil korespondensi di internet ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN Ayat KS Aquran Quran Suci/QS Surat Al Ahzab 3340 A’udzubillah himinasy-syaithan …… Maa kaana Muhammadun abaa ahadin minr rijaalikum wa laakinr rosuuulal laahi wa khaatamannabiyyin Yang artinya Muhammad bukanlah Bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan Khaataman Nabiyyin, khatam-nya dari para nabi-nabi. Ayat Khataman-Nabiyyin ini diturunkan di dalam rangkaian pembelaan dari Allah SWT kepada YM. Nabi Suci Muhammad Rasulullah atas tuduhan orang Arab Quraisy , bahwa pernikahan Rasulullah dengan Hadhrat Siti Zainab, janda dari Zaid “anak angkat” Rasulullah yang dituduh mengawini janda menantunya sendiri. Tuhan menjawab cemoohan orang Quraisy terhadap Rasulullah yang melanggar tradisi berlaku pada saat itu yang tidak membolehkan orang mengawini janda bekas menantunya walaupun dari anak angkatnya, yang kedudukan anak angkat itu menurut adat kebiasaan orang Quraisy disamakan statusnya dengan anak sendiri. Pada saat diturunkannya wahyu tentang Khaataman Nabiyyin tersebut, tidak pernah terpikir waktu itu oleh para sahabat Rasulullah bahwa khatam itu diartikan sebagai penutup untuk nabi-nabi, ini adalah berdasarkan keterangan dari YM. Rasulullah sendiri. Apalagi jika kita membaca keseluruhan ayat-ayat yang ada di dalam Rukuk ke-5 dari Surah Al Ahzaab ini bahkan di keseluruhan Surah al Ahzaab pun tidak ada disinggung satu pun indikasi yang berkenaan dengan inniy aakhirul-anbiya’ atau laa nabiyya ba’di; tetapi yang ada disebutkan di dalam surah ini Al Ahzaab ini adalah Jangan engkau mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan orang munafik ayat 1, dalam hal status anak angkat dll., menjadikan istri-istrimu sebagai ibu dan anak-anak angkatmu sebagai anak sendiri ayat 4, tetapi panggillah anak ini dengan nama bapak mereka ayat 5, dan Kami pun mengatur pernikahan engkau dengan Zainab, yang janda dari Zaid anak angkat engkau itu; di mana sama sekali tidak ada sesuatu pun yang akan mencemarkan nama engkau, di mana engkau adalah Khaataman Nabiyyin. Selain yang artinya penutup yaitu khatim ada banyak arti dari kata Khatam yaitu Cincin, perhiasan bagi yang memakainya, meterai, segel, yang membenarkan, yang paling afdhal, yang paling mulia, yang terbaik, sebagai pujian terutama kalau dikaitkan dengan kata benda plural / jamak, dan hanya sebagai penutup khatim, terutama kalau dikaitkan dengan kata benda singular. Dalam tata bahasa Arab, kata Khaatam jika digandeng dengan kata jamak maka artinya bukan lagi terakhir atau penutup melainkan yang paling sempurna, paling afdhal. Contohnya Nabi bersabda kepada Hadhrat Ali Aku adalah khatam dari nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah khatamul aulia khatam dari Wali-wali Tafsir Safi & Jalandari, benarkan Ali penghabisan dari wali-wali? Tentu bukan, karena di sini diartikan bahwa Hadhrat Ali sebagai yang paling mulia di antara wali-wali. Imam Safi’i 767-820 juga disebut “khaatam-ul auliya” Al Tuhfatus-Sunniyya, hal. 45. Rasulullah berkata kepada Umar Tenteramkanlah hatimu hai Umar, sesunguhnya engkau adalah khatamul Muhajjirin sahabat yang mengikuti pindah ke Medinah yang paling afdhal di dalam kepindahan ini, seperti aku khataman nabiyyin dalam kenabian. Kanzul Umal. Dalam zaman-zaman berikutnya, kata khatam juga dipakai dalam arti sebagai yang paling nge-top mulia Imam Syech Muhammad Abdul dari Mesir ditulis sebagai Khatam Al-A’immah; Imam/Pemimpin agama Tafsir Al-Fatihah halaman 148. Apakah tidak ada imam lainnya setelah Muhammad Abduh? Abu Tamaam At-Ta-i 804-805 ditulis oleh Hasan ibnu Wahab sebagai Khatimus-syuara Ahli syair. Dafiyaatul A’ayaan, vol. 1 hal 123, Kairo. Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi? Untuk Syekh Rasyid Ali Ridha ditulis sebagai Khatamul Mufasysyiriin Al Jaami’atul Islamiyah 1354 H. Imam Suyuthi mendapat gelar khaatamu-ul- muhadditsin, ahli hadits Hadya Al-Shiah, hal. 210. Aflatun ditulis sebagai Khatamul Hakim Mirtusuruh hal. 38, Khatam Al-Hukkam. Tokoh-tokoh lainnya yang pernah ditulis/disebut sebagai Khatam Al-Kiram, Khatam Al-Wilayat Muqaddimah Ibnu Khaldun hal. 271, Khatam Al-Jasinaniyyat, Khatam Al-Kamilin, Khatam Al-Asfiya, dalam sebutan sebagai yang paling afdhal, yang terbaik pujian terhadap seseorang yang dikagumi. Arti kata Khatam sebagai penutup atau terakhir sebenarnya baru timbul di abad pertengahan, di mana ulama-ulama Medieval ini mulai mengartikan khataman nabiyyin itu sebagai nabi penutup dan nabi terakhir. Ada riwayat, bagaimana para ulama yang karena takutnya pada arti Khaatam sebagai yang paling afdhal, paling terbaik kalau digabungkan dengan kata benda jamak/plural , meterai, atau cincin, stempel, maka mereka dengan tidak takut-takutnya mempengaruhi pemerintah melalui Departemen Wakaf-nya, untuk merobah Kitab Suci Alquran, yaitu dengan merobah tulisan kata khatam dengan merobah tulisannya dengan kata khatim dalam Alquran yang diterbitkan- nya. Ini terjadi di Afrika pada tahun 1987, dan ada yang menunjukkannya kepada kita. Mereka ingin mengartikan kata khatam itu sebagai penutup dengan kata khatim, yang mereka pikir punya hak untuk menggantinya. Ini adalah perbuatan yang nyata-nyata campur-tangan terhadap keaslian KS. Alquran, hanya karena mereka takut kepada Ahmadiyah. Inilah gambaran keliru yang amat mengerikan sebagai usaha mereka untuk menyelamatkan diri dari pengaruh pendapat orang Ahmadi, mengenai arti dari kata khatam ini. Kepercayaan tentang Nabi Muhammad adalah nabi terakhir memang pernah muncul dan sekarang kepercayaan yang demikian mestinya sudah lenyap kembali; kepercayaan mana adalah yang di-isukan oleh ulama dari zaman masa medieval pertengahan , bersamaan dengan kepercayaan bahwa, katanya Nabi Isa itu diangkat ke langit, dengan tubuh kasarnya dan akan turun kembali di akhir zaman. Tentang penggunaan kata khatam yang berarti termulia, tertinggi dan sebagainya dalam berbagai istilah dalam bahasa Arab lainnya dapat dilihat pada beberapa kata di bawah ini 1. KHATAM-USH-SHU’ARAA seal of poets was used for the poet Abu Tamam. Wafiyatul A’yan, vol. 1, p. 23, Cairo. 2. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Tayyeb. Muqaddama Deewanul Mutanabbi, Egyptian 3. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Ala Alme’ry. ibid, footnote. 4. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Shaikh Ali Huzain in India. Hayati Sa’di, p. 117. 5. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Habeeb Shairaazi in Iran. Hayati Sa’di, p. 87 Note here that all five people have been given the above title. How could it be interpreted as “last”. They did not come and go at the exact same time. 6. KHATAM-AL-AULIYAA seal of saints for Hazrat Ali May God be pleased with him. Tafsir Safi, Chapter AlAhzab Can no other person now attain wilaayat, if “seal” meant last? 7. KHATAM-AL-AULIYAA used for Imam Shaf’ee. Al Tuhfatus Sunniyya, p. 45. 8. KHATAM-AL-AULIYAA used for Shaikh Ibnul Arabee. Fatoohati Makkiyyah, on title page. 9. KHATAM-AL-KARAAM seal of remedies used for camphor. Sharah Deewanul Mutanabbee, p. 304 Has no medicine been found or used after camphor, if “seal” means “last”? 10. KHATAM-AL-A’IMMAH seal of religious leaders used for Imam Muhammad Abdah of Egypt. Tafseer Alfatehah, p. 148 Don’t we have leaders today? 11. KHATAM-ATUL-MUJAHIDEEN seal of crusaders for AlSayyad Ahmad Sanosi. Akhbar AlJami’atul Islamiyyah, Palestine, 27 Muharram, 1352 12. KHATAM-ATUL-ULAMAA-ALMUHAQQIQEEN seal of research scholars used for Ahmad Bin Idrees. Al’Aqadun Nafees 13. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Abul Fazl Aloosi. on the title page of the Commentary Roohul Ma’aanee 14. KHATAM-AL-MUHAQQIQEEN used for Shaikh AlAzhar Saleem Al Bashree. Al Haraab, p. 372 15. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Imam Siyotee. Title page of Tafseerul Taqaan 16. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Hazrat Shah Waliyyullah of Delhi. Ijaalah Naafi’ah, vol. 1 17. KHATAMAT-AL-HUFFAAZ seal of custodians for AlShaikh Shamsuddin. AlTajreedul Sareeh Muqaddimah, p. 4 A “hafiz” is one who has memorised the full arabic text of the Holy Quran. Two of my cousins happen to belong to this category and more people will memorize it. 18. KHATAM-AL-AULIA seal of saints used for the greatest saint. Tazkiratul Auliyaa’, p. 422 19. KHATAM-AL-AULIA used for a saint who completes stages of progress. Fatoohul Ghaib, p. 43 20. KHATAM-ATUL-FUQAHAA seal of jurists used for Al Shaikh Najeet. Akhbaar Siraatal Mustaqeem Yaafaa, 27 Rajab, 1354 21. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators or exegetes for Shaikh Rasheed Raza. Al Jaami’atul Islamia, 9 Jamadiy thaani, 1354 22. KHATAM-ATUL-FUQAHAA used for Shaikh Abdul Haque. Tafseerul Akleel, title page 23. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Al Shaikh Muhammad Najeet. Al Islam Asr Shi’baan, 1354 24. KHATAM-AL-WALAAYAT seal of sainthood for best saint. Muqaddimah Ibne Khuldoon, p. 271 25. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN WAL MUFASSIREEN seal of narrators and commentators used for Shah Abdul Azeez. Hadiyyatul Shi’ah, p. 4 26. KHATAM-AL-MAKHLOOQAAT AL-JISMAANIYYAH seal of bodily creatures used for the human being. Tafseer Kabeer, vol. 2, p. 22, published in Egypt 27. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Shaikh Muhammad Abdullah. Al Rasaail Naadirah, p. 30 28. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Allaama Sa’duddeen Taftaazaani. Shara’ Hadeethul Arba’een, p. 1 29. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Ibn Hajrul Asqalaani. Tabqaatul Madlaseen, title page 30. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators used for Maulvi Muhammad Qaasim. Israare Quraani, title page 31. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators used for Imam Siyotee. Hadiyyatul Shee’ah, p. 210 32. KHATAM-AL-HUKKAAM seal of rulers used for kings. Hujjatul Islam, p. 35 33. KHATAM-AL-KAAMILEEN seal of the perfect used for the Holy Prophet pbuh. Hujjatul Islam, p. 35 34. KHATAM-AL-MARAATAB seal of statuses for status of humanity. Ilmul Kitaab, p. 140 We have the “highest, not “last” status. 35. KHATAM-AL-KAMAALAAT seal of miracles for the Holy Prophet pbuh. ibid, p. 140 36. KHATAM-AL-ASFIYAA AL A’IMMAH seal of mystics of the nation for Jesus peace be on him. Baqiyyatul Mutaqaddimeen, p. 184 37. KHATAM-AL-AUSIYAA seal of advisers for Hazrat Ali Minar Al Hudaa, p. 106 38. KHATAM-AL-MU’ALLIMEEN seal of teachers/scholars used for the Holy Prophetpbuh. Alsiraatul Sawee by Allama Muhammad Sabtain Now, I am a teacher myself, and you know that I still exist, AFTER the Holy Prophet pbuh, but I am nowhere close to being able to teach as PERFECTLY as he could or did. How then could he be “last” of teacher Seal means “best” here and not “last”. 39. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Al Shaikhul Sadooq. Kitaab Man Laa Yahdarahul Faqeeh 40. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN used for Maulvi Anwar Shah of Kashmir. Kitaab Raeesul Ahrar, p. 99 Pendapat lainnya tentang masih berlanjutnya pintu Kenabian dalam Islam dapat dilihat dari berbagai hadits dan ulama berikut ini 1. “Katakanlah bahwa beliau Rasulullah adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi. 2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu tidak ada Nabi sesudahnya” Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, 3. Rasulullah adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka lihat Syarh Zurqani oleh Imam Muhammad ibn `Abdul Baqi al-Zurqani, dan Syarah Mawahib al-Laduniyyah oleh Syihab-ud-Din Ahmad Qastalani. 4. Berkata Sheikh Muhyiddin Ibnu Arabi “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku. Maka tidaklah nubuwat itu terangkat seluruhnya. Karena itu kami mengatakan sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i kenabian yang pakai syariat, maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.Futuhatul Makkiyah, jilid II halaman 73. Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis “Inilah arti dari sabda Rasulullah “Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada Rasul dan Nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan Syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah Syari’atku.” Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3 Imam Muhammad Thahir Al-Gujarati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan mebatalkan syariat beliau”….Takmilah Majmaul Bihar, halaman 85. 5. Mulla Ali Al-Qari berkata “Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat “khaatamannabiyin” karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau dan nabi yang bukan dari umat beliau”….. .Maudhuat Kabir, halaman 59. 6. Nawwab Siddiq Hasan Khan menulis “Benar ada hadist yang berbunyi “la nabiyya ba’di” artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang menasikhkan/ membatalkan syariatku”.. …Iqtirabussa’ ah, halaman 162. 7. Imam Sya’rani berkata”Dan sabda Nabi Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul sesudahku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat”…. Al-Yawaqit wal Jawahir, jilid II halaman 42. 8. Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad SAW khaatamannabiyyin” …..Al- Insanul Kamil halaman 66. 9. Sayyid Waliuyullah Muhaddist Al-Dahlawi berkata” Dan khaatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia”…. Tafhimati Ilahiyah, halaman 53. 10. Imam Suyuti berkata “Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa apabila turun nanti pangkatnya sebagai Nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya. Maka dia Isa yang dijanjikan sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad SAW, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula”…..Hujajul Kiramah , halaman 31 dan 426. 11. Imam Abdul Wahab Asy-Syarani berkata “Dan sabda Nabi “tidak ada Nabi dan Rasul sesudah aku, adalah maksudnya tidak ada lagi Nabi sesudah aku yang membawa Syari’at.” Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42. 12. Imam Thahir Al Gujrati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada Nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi Nabi yang akan membatalkan Syari’at beliau.” Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85. 13. Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan “Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-Nabiyyiin . Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah tidak dapat lagi datang Nabi lain yang membatalkan Syari’at beliau dan bukan ummati beliau Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69. 14. Peristiwa wafatnya Ibrahim putera Rasulullah dari Maria Qibtiyah tercatat sebagai berikut Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah wafat, beliau menyembahyangkan jenazahnya dan berkata, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Alqazwaini, Darul Fikr, jld. II, hlm. 484, Hadits no. 1511.Peristiwa wafatnya Ibrahim terjadi pada tahun 9 H, sedangkan ayat “khaataman-nabiyyiin” diturunkan pada tahun 5 H. Jadi, ucapan beliau mengenai Ibrahim sebagaimana ditemukan dalam Hadits itu adalah 4 tahun kemudian setelah beliau menerima ayat “khaataman-nabiyyiin.” Jika ayat “khaataman-nabiyyii n” diartikan sebagai “penutup / sesudahan / penghabisan /akhir” nabi-nabi yaitu tidak boleh ada nabi lagi apa pun juga setelah beliau maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia tidak akan pernah menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Nabi yang menerima wahyu, jadi beliaulah yang paling mengetahui arti/makna wahyu yang diterimanya. 15. Dalam Kitab Nuzulul Masih, Imam Jalaluddin Assuyuti rh Mujaddid abad IX menyatakan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa tidak ada lagi wahyu setelah nabi Muhammad saw adalah Palsu. Kini pertanyaannya adalah apakah ada Ulama Salaf yang menafsirkan kalimat “Khaataman Nabiyyin” dalam Al Qur’an dengan mengikuti kaidah tata bahasa Arab di atas? Mengingat tafsir yang dipopulerkan oleh para Ulama saat ini terhadap kalimat Khaataman Nabiyyin yang didasarkan atas klaim ijma’ seluruh Ulama adalah penutup para Nabi dalam arti tiada lagi akan ada Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Berikut adalah penafsiran dari beberapa Ulama Salaf 1. Umayyah bin Abi Salt dlm Kitab Diwan hal 24 menulis mengenai Khaataman nabiyin “Dengannya Rasulullah saw telah dicap/stempel para nabi sebelum maupun sesudahnya”. 2. Abu Ubaidah wafat 209 H ketika mengomentari Khair Al Khawatim dlm Naqa’id ibn Jarir dan Faradzaq tentang rasulullahsaw sebagai khaataman nabiyyin “Nabi saw adalah Khaatam al Anbiya, yaitu sebaik-baik para nabi”. 3. Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al Qaisi wafat 339 H dlm mengomentari kitab Hasyimiyyat karangan Al Kumait berkata “Barang siapa mengatakan Khaatim al anbiya, maka ia adalah dengannya para nabi di cap/stempel, dan barang siapa yg mengatakan Khaatam al anbiya, maka ia adalah sebaik-baik para nabi. Dikatakan” Fulan khaatam kaumnya”, yakni ia adalah terbaik dari antara mereka”. 4. Allamah Al Zarqani menulis dlm Syarah Al Mawahib Al Laduniyah Juz III, hal 163, bahwa jika khatam dibaca dengan baris di atas ta sebagaimana tersebut dlm Al Qur’an al ahzab 40, maka artinya “sebaik-baik para nabi dlm hal kejadian dan dalam hal akhlak”. 5. Imam Mulla Ali al Qari menulis dlm kitabnya Al Maudhu’at tentang Khaatam Al Nabiyyin “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yg akan memansukhkan agama Islam dan yg bukan dari umat beliau”. 6. Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dlm Kitab ” Al Insanul Kamil” cetakan Mesir, bab 33, hal 76 menulis “Kenabian yg mengandung sya’riat baru sudah putus. Nabi Muhammad adalah “Khaataman nabiyyin”, ialah karena beliau telah membawa syari’at yg sudah sempurna dan tiada ada seorang Nabi pun dahulunya yg membawa syariat yg begitu sempurna”. 7. Ibnu Khuldun telah menulis dalam mukadimah tarikh-nya hal 271 “Bahwa ulama-ulama Tasawuf mengartikan “Khaataman Nabiyyin” begini; yakni Nabi yg sudah mendapat kenabian yg sempurna dalam segala hal”. 8. Syekh Abdul Qadir Al Karostistani menulis ” Adanya beliau saw Khaataman nabiyyin maknanya ialah sesudah beliau tidak akan ada nabi diutus dengan membawa syariat lain”. Taqribul Muram, jld 2, hal 233. 9. Hazrat Sufi Muhyidin Ibn Arabi menulis “Nubuwat dan Risalah Tasyri’i pembawa Syariat telah tertutup, oleh karena itu sesudah Rasulullah saw tidak akan ada lagi Nabi pembawa/penyandang Syari’at….kecuali demi kasih sayang Allah untuk mereka akan diberlakukan Nubuwat umum yg tidak membawa syariat” Fushushul Hakam, hal 140-141. Lagi beliau menulis dalam Futuhat al makiyyah Juz 2 ” Berkata ia Yakni tidak ada Nabi sesudahku yg berada pada syariat yg menyalahi syariatku , Sebaliknya apabila nanti ada Nabi maka ia akan berada di bawah kekuasaan syariatku”. 10. Syekh Muhammad Thahir Gujarati menulis “Sesungguhnya yg beliau kehendaki ialah tidak ada Nabi yg mengganti syari’at beliau”. Takmilah Majma’il Bihar, hal 85. 11. Siti Aisyah bersabda “Hai, orang-orang kalian boleh mengatakan Khaatamul anbiya, tapi jangan mengatakan setelah beliau tidak ada lagi nabi”. Tafsir Darul Mantsur Imam As Suyuthi, Jld V, 12. Hz. Abdul Wahab Sya’rani Wafat 976H menulis “Ketahuilah bahwa kenabian mutlak tidak tertutup, hanya kenabian syar’i yg membawa syariat yg telah tutup”. Al Yawaqit wal Jawahir, jld 2, Dari keterangan di atas maka bisa disimpulkan bahwa penafsiran Khaataman Nabiyyin sebagai Penutup Kenabian jenis apapun bukanlah satu-satunya penafsiran. Para penafsiran Ulama Salaf di atas menerangkan bahwa 1. Khaatamun Nabiyyin adalah pangkat / derajat kenabian tertinggi tersempurna yang dikaruniai oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw. 2. Kesempurnaan ini juga terkait dengan nikmat syariat yang beliau bawa yaitu Islam. 3. Tidak ada Nabi lagi yang akan datang yang akan melampaui atau bahkan membatalkan kesempurnaan derajat dan syariat beliau Beliau saw penutup Kenabian Syar’i. 4. Tidak semua jenis kenabian tertutup, hanya kenabian yang membawa syariat yang tertutup. 5. Jika ada Nabi yang datang maka akan tunduk dalam syariat Islam dan berasal dari umatnya. Juni 16, 2008 - Posted by Hadits dan Quran Belum ada komentar.

arti dari khataman nabiyyin adalah